Setting:
Hari menuju petang. Kursi di tengah
panggung dan satu meja dengan vas diisi bunga hidup. Seorang gadis dengan
kebaya lusuh yang diikat di pinggang dan kain yang sudah terlalu sering dicuci,
Seruni, masuk ke atas panggung sambil membawa baju dan alat menjahit. Matanya
sayu dengan langkah gontai karena belum makan sejak pagi tadi. Seruni melihat
ke bawah panggung seolah-olah melihat ke jendela dari rumah tinggi. Dari luar
terdengar bunyi-bunyi berisik binatang malam yang mulai berkeliaran.
Seruni menghela nafas berat. Menanti
bapaknya pulang dari bekerja dan akhir dari perut keroncongannya seraya duduk
pelan di kursi dan mulai mengeluarkan alat jahit.
Seruni : (memegang perutnya yang lapar) Aku tidak
pernah sekali pun mengeluh bapak kapan pulang. Hanya saja cacing di perut ini
tidak pernah mau kompromi. Tidak ada pula yang tahu mengapa dapur tidak
mengasap. Pun tidak peduli tetangga rajin berkisah. Apa saja dikisahkan.
Menyerah dan mulai mengambil benang
untuk menjahit baju yang sobek. Seruni berusaha memasukan benang ke dalam
jarum. Sudah sedikit kesal akhirnya jarum terjatuh.
Seruni : Petang datang bukan untuk bersandar diri di
kursi santai. Bukan pula aku mau menanak nasi. Tetapi dari tadi kutunggu, becak
ayah tidak ribut berderit di bawah rumah pulang bawa sekilo beras.
Seruni bangun berbalik ke arah
belakang panggung mencari jarum lain. Tapi nihil. Putus asa jarum sebatang pun
tidak ada. Akhirnya kembali ke depan panggung melihat ke arah penonton seolah
menanti ayah pulang.
Seruni : Rumah buruk tepat dua tahun ditinggal Emak
sudah tidak punya jarum barang sebatang lagi. (menghela nafas berat)
Seruni menarik kursi ke depan
panggung. Duduk di lantai sambil memangku tangan di kursi.
Seruni : Selepas Bapak balik nanti, aku kalau tidak
masuk dapur ya masuk kamar bawa tidur langsung. Tidak lagi belajar, karena
tidak lagi sekolah.
Seruni melihat (seperti menerawang)
ke atas seolah melihat ke atas pohon.
Seruni : Ingat aku saat melihat daun yang sudah
menguning itu. Seperti saat mendengar kata Bapak.
Berhenti.
Gadis berganti suara agak berat meniru suara Bapak.
Bapak
: (Dengan wajah putus asa dan sedih) Bukan ingin layukan bunga yang belum
mekar, bukan pula bapak ingin hancurkan mimpi yang belum diangankan, hah…Seruni
mengertilah keringat bapak tidak sanggup lagi bayarkan uang sekolah Seruni.
Seruni mulai menangis dalam diam.
Air mata mengalir di pipi meresap sakitnya ke dalam hati. Seruni diam saja
seolah sedang menikmati hati yang sedang nyeri.
Seruni : Seruni akan tetap berbunga walau nanti pohon
sudah tak berdaun, walau tanah mongering daun-daun telah gugur. Petang itu aku
mendengar Bapak juga terisak di balik bilik. (Menghela nafas berat. Kali ini
lebih dalam)
Seruni : Aku jatuh bermimpi jadi penari (melentikan
tangan seperti penari) karena mahal membeli bedak. Aku berhenti mimpi jadi
pelukis karena mahal membeli kanvas. Lari aku ambil pena sebatang, Bapak aku
hanya ingin berkisah saja.
Seruni menelungkupkan muka dan
menangis terisak. Bunyi becak berdecit. Seruni bangun melonggok melihat ke
bawah.
Seruni :
Bapak pulang. Membawa senyum sahaja dengan tangan melambai ringan. Beginilah
hidup kampong di tengah kota.
Seruni berjalan mundur ke tengah
panggung dan melihat ke atas pohon.
Seruni : Ada tidak, ya, Wak Ilah di rumah? Seruni mau
minta ubi sedikit buat bapak. (Berbalik dengan berurai air mata)*
Palembang, 17 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar