Rabu, 19 September 2012

Daun Musim Gugur


Setting:
            Hari menuju petang. Kursi di tengah panggung dan satu meja dengan vas diisi bunga hidup. Seorang gadis dengan kebaya lusuh yang diikat di pinggang dan kain yang sudah terlalu sering dicuci, Seruni, masuk ke atas panggung sambil membawa baju dan alat menjahit. Matanya sayu dengan langkah gontai karena belum makan sejak pagi tadi. Seruni melihat ke bawah panggung seolah-olah melihat ke jendela dari rumah tinggi. Dari luar terdengar bunyi-bunyi berisik binatang malam yang mulai berkeliaran.
            Seruni menghela nafas berat. Menanti bapaknya pulang dari bekerja dan akhir dari perut keroncongannya seraya duduk pelan di kursi dan mulai mengeluarkan alat jahit.

Seruni : (memegang perutnya yang lapar) Aku tidak pernah sekali pun mengeluh bapak kapan pulang. Hanya saja cacing di perut ini tidak pernah mau kompromi. Tidak ada pula yang tahu mengapa dapur tidak mengasap. Pun tidak peduli tetangga rajin berkisah. Apa saja dikisahkan.

            Menyerah dan mulai mengambil benang untuk menjahit baju yang sobek. Seruni berusaha memasukan benang ke dalam jarum. Sudah sedikit kesal akhirnya jarum terjatuh.

Seruni : Petang datang bukan untuk bersandar diri di kursi santai. Bukan pula aku mau menanak nasi. Tetapi dari tadi kutunggu, becak ayah tidak ribut berderit di bawah rumah pulang bawa sekilo beras.

            Seruni bangun berbalik ke arah belakang panggung mencari jarum lain. Tapi nihil. Putus asa jarum sebatang pun tidak ada. Akhirnya kembali ke depan panggung melihat ke arah penonton seolah menanti ayah pulang.
Seruni : Rumah buruk tepat dua tahun ditinggal Emak sudah tidak punya jarum barang sebatang lagi. (menghela nafas berat)

            Seruni menarik kursi ke depan panggung. Duduk di lantai sambil memangku tangan di kursi.

Seruni : Selepas Bapak balik nanti, aku kalau tidak masuk dapur ya masuk kamar bawa tidur langsung. Tidak lagi belajar, karena tidak lagi sekolah.

            Seruni melihat (seperti menerawang) ke atas seolah melihat ke atas pohon.

Seruni : Ingat aku saat melihat daun yang sudah menguning itu. Seperti saat mendengar kata Bapak.
Berhenti. Gadis berganti suara agak berat meniru suara Bapak.

Bapak : (Dengan wajah putus asa dan sedih) Bukan ingin layukan bunga yang belum mekar, bukan pula bapak ingin hancurkan mimpi yang belum diangankan, hah…Seruni mengertilah keringat bapak tidak sanggup lagi bayarkan uang sekolah Seruni.

            Seruni mulai menangis dalam diam. Air mata mengalir di pipi meresap sakitnya ke dalam hati. Seruni diam saja seolah sedang menikmati hati yang sedang nyeri.

Seruni : Seruni akan tetap berbunga walau nanti pohon sudah tak berdaun, walau tanah mongering daun-daun telah gugur. Petang itu aku mendengar Bapak juga terisak di balik bilik. (Menghela nafas berat. Kali ini lebih dalam)
Seruni : Aku jatuh bermimpi jadi penari (melentikan tangan seperti penari) karena mahal membeli bedak. Aku berhenti mimpi jadi pelukis karena mahal membeli kanvas. Lari aku ambil pena sebatang, Bapak aku hanya ingin berkisah saja.

            Seruni menelungkupkan muka dan menangis terisak. Bunyi becak berdecit. Seruni bangun melonggok melihat ke bawah.
Seruni  : Bapak pulang. Membawa senyum sahaja dengan tangan melambai ringan. Beginilah hidup kampong di tengah kota.

            Seruni berjalan mundur ke tengah panggung dan melihat ke atas pohon.

Seruni : Ada tidak, ya, Wak Ilah di rumah? Seruni mau minta ubi sedikit buat bapak. (Berbalik dengan berurai air mata)*

Palembang, 17 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar